Sebuah
catatan Dari Prof. Dr. Fendy Suhariadi
I. Ketika Puas
Saja Tidak Cukup: Employee Engagement
untuk Keunggulan Kompetitif Organisasi.
Tantangan yang dihadapi setiap
organisasi semakin besar, salah satunya adalah mencapai keunggulan kompetitif
yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Keunggulan
kompetitif tersebut dapat ditunjukkan melalui kinerja organisasi yang merupakan
hasil dari kinerja individual di organisasi tersebut. Oleh karena itu,
meningkatkan kinerja individu di organisasi menjadi tugas bagi manajemen sumber
daya manusia, salah satunya dengan memperhatikan dan menempatkan anggota
organisasi sebagai asset yang paling berharga bagi organisasi. Makalah ini akan
menjelaskan tentang mengapa produktivitas dan kinerja menjadi hal yang penting
bagi organisasi, disamping itu juga akan membicarakan bagaimana organisasi
dapat meningkatkan engagement karyawannya,
namun sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu engagement dan mengapa engagement
menjadi penting bagi organisasi.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya
bahwa setiap organisasi pasti menginginkan kinerja yang prima dari setiap
karyawannya. Kinerja prima ini akan mengarahkan pada produktivitas yang juga
akan berdampak pada keuntungan dan keunggulan organisasi. Produktivitas adalah
konsekuensi logis yang dihasilkan ketika karyawan yang ada didalam organisasi
menunjukkan upayanya untuk meningkatkan kinerja, produktivitas sendiri adalah
output yang diharapkan organisasi. Dampak produktivitas disini mulai dari
keuntungan organisasi yang semakin meningkat, karena output yang dihasilkan
lebih banyak dibandingkan input yang diberikan dari proses produksi yang
dilakukan. Hingga juga keunggulan organisasi karena keuntungan yang didapatkan
juga dapat digunakan untuk investasi atas inovasi-inovasi di organisasi, yang
membuatnya berbeda dengan organisasi lainnya, terutama berbeda dari kompetitor.
Disebut sebagai kinerja ketika
motivasi individu dibarengi dengan kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan
pekerjaannya, serta juga adanya dukungan dari organisasinya. Artinya individu
tersebut akan menunjukkan kinerja yang terbaik ketika dia termotivasi dan juga
merasa mampu untuk melakukannya, serta diberikannya kesempatan untuk terlibat
dalam pekerjaannya. Disamping itu, produktivitas adalah tujuan dari semua
organisasi, karena yang ingin dicapai adalah output yang sebanyak-banyaknya
dengan memanfaatkan input yang se-efisien mungkin. Sehingga dengan kata lain
diharapkan dengan memiliki engagement yang
tinggi maka individu akan dapat menunjukkan perilaku yang mengarah pada upaya
untuk mencapai output sebanyak-banyaknya dan se-efektif mungkin, akan tetapi juga tetap tidak
menghambur-hamburkan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.
Sayangnya, meningkatkan kinerja
dan produktivitas anggota organisasi bukanlah hal yang mudah, masih banyak
organisasi yang menginginkan anggotanya untuk berproduksi secara optimal, akan
tetapi lebih memperlakukan manusia sebagai robot atau modal investasi yang
diharapkan akan dapat kembali. Saat ini, masih banyak organisasi yang berupaya
untuk memuaskan karyawannya, dengan cara memberikan berbagai fasilitas, seperti
gaji yang menarik, ataupun jenjang karir yang jelas. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Herzberg dalam teori two
factor bahwa hal-hal tersebut sifatnya lebih kepada faktor hygiene ketimbang sebagai motivator yang
dapat mengarahkan pada perilaku positif dan produktif di organisasi.
Anggota organisasi yang puas
saja, ternyata tidak cukup untuk dapat meraih keunggulan kompetitif organisasi.
Hal ini disebabkan bahwa, semakin ketatnya persaingan, semakin marak praktek
“bajak-membajak” karyawan-karyawan yang berprestasi terjadi. Dengan kata lain,
selain berupaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawannya,
tantangan berikutnya adalah memastikan anggota organisasi tetap berada didalam
organisasi, dan tidak tergoda untuk pindah ke lain “hati”, walaupun mendapatkan
fasilitas yang lebih baik. Karyawan yang puas saja akan mudah untuk berpaling,
jika organisasi lain mendatangkan kepuasan yang lebih, sedangkan karyawan yang
merasa engaged atau melekatkan
dirinya pada organisasi akan melakukan apapun untuk kemajuan organisasi, baik
dalam kondisi senang maupun susah. Sehingga fokus Psikologi Industri dan
Organisasi saat ini adalah bagaimana memunculkan sikap-sikap positif individu
di organisasi, yang tidak hanya puas ataupun komitmen, akan tetap sikap-sikap
yang dapat mengarahkan pada ide, produktivitas dan juga menciptakan lingkungan
kerja yang kondusif, salah satu konstruk yang dibicarakan adalah employee engagement.
II. Menjelaskan Employee Engagement: Bukan Sekedar Lagu Lama Yang Diputar Kembali.
Engagement adalah kata-kata yang cukup sukar untuk
ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena jika diartikan secara letter lux maka akan menjadi terikat,
dan pada akhirnya maknanya akan menjadi tereduksi. Oleh karena itu, kita akan
tetap menggunakan istilah engagement.
Hal ini bukan berarti, kita secara mentah-mentah menggunakan istilah asing atau
sekedar memaknainya sebagai buzz word,
karena sebenarnya konstruk ini adalah konstruk yang menarik untuk didiskusikan,
sebagaimana alasan-alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, mulai dari terkait
dengan isu produktivitas dan kinerja, hingga terkait dengan isu-isu menjaga
karyawan agar tetap di organisasi. Tantangan dalam mendefinisikan engagement juga terjebak pada sejauh
mana konstruk ini membedakan dengan konstruk-konstruk sikap lainnya, seperti
kepuasan, komitmen, organizational
citizenship behavior, sehingga jangan sampai menjelaskan konstruk engagement ini seperti seakan-akan lagu
lama yang diputar kembali, atau “old wine
new bottle”.
Dalam mendefinisikan engagement, Kahn (2010) menjelaskan
bahwa engagement tidak cukup diistilahkan
sebagai semangat dalam bekerja, lebih dari itu konstruk ini menjelaskan
bagaimana individu terlibat sepenuhnya pada organisasinya, memikirkan bagaimana
pekerjaan dan organisasi dapat berjalan dengan baik, dan melebihi sebagaimana
mestinya, disamping itu engagement juga
menjelaskan bagaimana individu menempatkan dirinya yang sesungguhnya,
menunjukkan segenap upayanya untuk pekerjaan dan organisasinya. Sehingga jika
didasarkan pada penjelasan Kahn (2010), konstruk ini merupakan sikap psikologis
individu terhadap organisasi dan pekerjaannya, dimana sikap itu sendiri
meliputi pikiran, perasaan dan tindakan, dengan kata lain konstruk ini juga
dapat diamati dalam perilaku sehari-hari. Sebagai implikasinya, konstruk ini
juga mengklasifikasikan indvidu kedalam 3 tingkatan yang berbeda yaitu engaged, disengaged dan actively disengaged.
Lebih lanjut, Ellis dan Sorensen
(2007) mencoba menjelaskan konsep engagement
terdiri dari dua atribut utama yaitu (1) mengetahui apa yang dikerjakan, dan
juga (2) menginginkan melakukan pekerjaannya. Mengetahui apa yang dikerjakan
maksudnya adalah memahami apa yang menjadi tujuan organisasi, menyelaraskan
antara tujuan individu dan organisasi, berperan aktif dalam berkontribusi untuk
mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedangkan menginginkan melakukan pekerjaan
tersebut artinya adalah secara personal dia memiliki dorongan untuk melakukan
pekerjaannya yang terbaik, dan berusaha untuk menginspirasi orang lain di
organisasi tersebut. Dengan kata lain, kedua atribut mencoba untuk
menyeimbangkan antara keinginan untuk menunjukkan kinerja terbaiknya di
organisasi, juga menekankan pada melakukan pekerjaan yang lebih bermakna dan
berharga (Ellis dan Sorensen, 2007). Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa employee
engagement adalah kondisi dimana
individu merasa begitu bergairah dalam menjalankan pekerjaannya di organisasi
tempat dia bekerja, perasaan bergairah ini juga ditunjang dengan sepenuhnya
komitmen pada organisasi, dan bersedia menunjukkan usaha yang lebih untuk
mencapai tujuan organisasi.
III. Employee
Engagement dan Kinerja: Untuk Produktivitas Individu dan Organisasi.
Diawal makalah ini dijelaskan
bahwa engagement akan mengarah pada kinerja yang prima dari
individu, dan pada akhirnya akan mencapai produktivitas yang tinggi yang
tentunya akan menghasilkan keuntungan dan keunggulan bagi organisasi. Pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana karyawan yang engaged
dapat menunjukkan kinerja yang
terbaiknya. Disinilah kita mencoba mendiskusikan model yang tepat agar engagement dapat memfasilitasi kinerja yang prima dari
karyawan. Gruman dan Saks (2010) menyampaikan bahwa dalam konteks manajemen
kinerja, terdapat beberapa rangkaian aktivitas meliputi penentuan target
kinerja, penilaian kinerja hingga sesi diskusi umpan balik atas kinerja yang
dicapai oleh karyawan. Semua aktivitas tersebut dapat digunakan untuk
meningkatkan engagement yang juga
pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja individu.
Pertama, pada sesi penentuan
target kinerja, prinsip awal dijelaskan bahwa karyawan akan menunjukkan
kelekatannya pada organisasinya ketika dia terlibat dalam pekerjaannya,
termasuk didalamnya adalah membangun kesepakatan target kinerja yang akan
dicapai. Hal ini sejalan dengan teori goal
setting dimana keterlibatan ini juga bagian dari memfasilitasi penyelarasan
antara tujuan individu dengan tujuan organisasinya. Kedua, terkait dengan
aktivitas penilaian kinerja juga dapat menentukan apakah karyawan akan engaged ataupun tidak, yaitu ketika
penilaian kinerja tersebut dilakukan secara adil, obyektif dan dapat dipercaya.
Selanjutnya adalah pada sesi feedback,
dimana umpan balik yang positif, tidak menjatuhkan akan membuat individu
tersebut (Gruman dan Saks, 2010).
IV. Meningkatkan Employee Engagement: Tantangan dan Potensi Kedepannya.
Engagement adalah
konstruk psikologis yang didasarkan pada paradigma psikologi positif, yaitu
sebuah pendekatan yang mengedepankan aspek kekuatan dibandingkan melihat
kelemahan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa engagement akan menunjukkan individu yang otentik dalam menjalankan
tugasnya. Akan tetapi, meningkatkan engagement
individu juga menjadi tugas dari organisasi, dan hal ini menjadi tantangan bagi
praktisi Psikologi Industri dan Organisasi, sebagaimana pada umumnya berfungsi
sebagai manajemen sumber daya manusia di organisasi. Berikut ini beberapa hal
yang dapat diperhatikan oleh organisasi untuk memfasilitasi meningkatkan engagement.
Bedarkar dan Pandita (2013)
menjelaskan bahwa yang mendorong meningkatnya engagement adalah tiga hal yaitu (1.) kepemimpinan, (2.) komunikasi
dan (3.) work-life balance. Sedangkan
Schaufeli dan Salanova (2010) menyebutkan bahwa dalam meningkatkan engagement dapat dilakukan baik dari
sisi intervensi individu dan juga intervensi organisasi. Lebih lanjut, beberapa
peneliti (Bedarkar dan Pandita, 2013; Schaufeli dan Salanova, 2010; Arakawa dan
Greenberg, 2007) sepakat bahwa kepemimpinan adalah aspek yang cukup signifikan
mempengaruhi engagement individu,
salah satu alasannya adalah atasan langsung berinteraksi dengan individu,
atasan juga merupakan representasi dari organisasi itu sendiri. Bedarkar dan
Pandita (2013) menegaskan bahwa pemimpin yang memiliki keseimbangan antara orientasi
pada tugas dan orientasi pada relasi akan dapat meningkatkan engagement anggota organisasinya, hal tersebut meliputi
pengembangan individu, memperhatikan kehidupan individu, dan juga orientasi
kinerja adalah tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin. Selanjutnya,
jika menurut Arakawa dan Greenberg (2007) ada tiga komponen kepemimpinan
positif yang dapat meningkatkan engagement
yaitu (1.) Pendekatan berbasis kekuatan, yaitu menggali kekuatan yang dimiliki oleh
anggota organisasinya (2.) menggunakan perspektif positif, dimana seorang
pemimpin tetap menggunakan perspektif positif sekalipun organisasi menghadapi
kesulitan, (3.) merekognisi atau menghargai, yaitu menghargai capaian-capaian
yang diraih oleh anggota organisasinya. Ketiga komponen tersebut akan
berhubungan dengan meningkatnya engagement
dan juga kinerja individu (Arakawa dan Greenberg, 2007).
Berikutnya, menurut Schaufeli dan
Salanova (2010) beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan engagement dari perspektif organisasi
antara lain, pertama yaitu pengukuran yang rutin dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana tingkat engagement
karyawannya, juga termasuk didalamnya mengambil langkah-langkah untuk
meningkatkannya. Kedua, adalah melakukan redesain pekerjaan yang dapat
memfasilitasi individu untuk dapat lebih memaknai pekerjaannya. Berikutnya juga
terkait dengan memfasilitasi pengembangan individu sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, melalui proses belajar, pelatihan dan manajemen karir yang baik.
Intinya adalah menempatkan sumber daya manusia sebagai asset yang paling
berharga di organisasi.
Beberapa langkah yang dijelaskan
dalam meningkatkan engagement anggota
organisasi, dimana diharapkan juga akan mengarah pada peningkatan kinerja dan
produktivitas individu dapat difasilitasi oleh Psikologi Industri dan
Organisasi, salah satunya dengan memberikan pemahaman serta penjelasan atas
pendekatan psikologi positif kepada organisasi dalam mengelola sumber daya
manusia yang dimilikinya, dalam konteks ini praktek manajemen sumber daya
manusia dilakukan dengan cara desentralisasi pada pimpinan perusahaan, ataupun
pimpinan unit lainnya. Contohnya dengan mengajarkan coaching berbasis psikologi positif pada atasan langsung, menyusun
sistem manajemen karir, merancang pekerjaan dan menumbuhkan semangat komunikasi
terbuka di organisasi.
Selain berbagai aktivitas yang
dapat dilakukan oleh praktisi psikologi Industri dan Organisasi ketika
berfungsi sebagai manajemen sumber daya manusia di organisasi untuk
meningkatkan engagement dan
produktivitas individu dan organisasi, terdapat juga beberapa pekerjaan rumah
bagi psikologi Industri dan Organisasi yang mengambil peran sebagai ilmuwan.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, salah satu tugas utamanya adalah
menjelaskan konstruk engagement ini sesuai dengan karakteristik sumber daya
manusia di Indonesia, penelitian-penelitian yang menjelaskan kekhasan konstruk
ini di Indonesia masih sangat terbuka.
Kesimpulan
Produktivitas dan Kinerja
individu akan mengarah pada kinerja organisasi yang juga akan mendatangkan
keunggulan kompetitif bagi organisasi. Oleh karena itu, meningkatkan kinerja
dan produktivitas menjadi tugas bagi setiap organisasi melalui fungsi manajemen
sumber daya manusia yang dimilikinya. Salah satu cara yang dapat dilakuakn
adalah dengan memperthatikan sikap anggota organisasi, termasuk didalamnya
adalah employee engagement. Adalah
konstruk yang menjelaskan bagaimana individu begitu bergairah terhadap
pekerjaannya, menunjukkan komitmen dan usaha yang lebih untuk pekerjaan dan
organisasinya. Konstruk ini merupakan bagian dari psikologi positif yang
menekankan pada kekuatan individu sehingga individu dapat menunjukkan potensi
terbaiknya dalam pekerjaan dan organisasi. Konstruk ini menjadi penting, karena
individu yang engage akan mengarahkan
segenap ide dan usahanya untuk kebaikan organisasi. Sehingga, beberapa langkah
dapat dilakukan oleh organisasi dalam meningkatkan engagement antara lain melalui kepemimpinan yang positif,
memberikan pemaknaan terhadap pekerjaan, dan juga memfasilitasi pengembangan
individu. Disamping aktivitas-aktivitas tersebut, tantangan yang juga diberikan
dari konstruk ini adalah mendefinisikan kekhasannya sesuai dengan konteks
budaya dan karakteristik sumber daya manusia di Indonesia.
Daftar Pustaka.
Bedarkar,
Madhura dan Pandita, Deepika., 2013., “A Study on the Drivers of Employee
Engagement Impacting Employee Performance”, Procedia-Social
and Behavioral Sciences 133 (2014) 106 – 115.
Ellis, Christian M. dan Sorensen,
Aaron., 2007., “Assessing Employee Engagement: The Key to Improving
Productivity”., Perspectives. Issues
15. 1.
Gruman, Jamie A., dan Saks, Alan
M., 2010., “Performance Management and Employee Engagement”, Human Resources Management Review (21),
2011, 123-136.
Kahn, William A., 2010., “The
Essence of Engagement: Lesson from The Field”. Dalam Simon L. Albrecht, Handbook of Employee Engagement,
Perspective, Issues, Research and Practice. Cheltenham, UK. Edward Elgar.