Senin, 30 Maret 2015

EMPLOYEE ENGAGEMENT DAN PRODUKTIVITAS: TANTANGAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI



Sebuah catatan Dari Prof. Dr. Fendy Suhariadi


I.      Ketika Puas Saja Tidak Cukup: Employee Engagement untuk Keunggulan Kompetitif Organisasi.
Tantangan yang dihadapi setiap organisasi semakin besar, salah satunya adalah mencapai keunggulan kompetitif yang membedakan satu organisasi dengan organisasi yang lainnya. Keunggulan kompetitif tersebut dapat ditunjukkan melalui kinerja organisasi yang merupakan hasil dari kinerja individual di organisasi tersebut. Oleh karena itu, meningkatkan kinerja individu di organisasi menjadi tugas bagi manajemen sumber daya manusia, salah satunya dengan memperhatikan dan menempatkan anggota organisasi sebagai asset yang paling berharga bagi organisasi. Makalah ini akan menjelaskan tentang mengapa produktivitas dan kinerja menjadi hal yang penting bagi organisasi, disamping itu juga akan membicarakan bagaimana organisasi dapat meningkatkan engagement karyawannya, namun sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa itu engagement dan mengapa engagement menjadi penting bagi organisasi.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa setiap organisasi pasti menginginkan kinerja yang prima dari setiap karyawannya. Kinerja prima ini akan mengarahkan pada produktivitas yang juga akan berdampak pada keuntungan dan keunggulan organisasi. Produktivitas adalah konsekuensi logis yang dihasilkan ketika karyawan yang ada didalam organisasi menunjukkan upayanya untuk meningkatkan kinerja, produktivitas sendiri adalah output yang diharapkan organisasi. Dampak produktivitas disini mulai dari keuntungan organisasi yang semakin meningkat, karena output yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan input yang diberikan dari proses produksi yang dilakukan. Hingga juga keunggulan organisasi karena keuntungan yang didapatkan juga dapat digunakan untuk investasi atas inovasi-inovasi di organisasi, yang membuatnya berbeda dengan organisasi lainnya, terutama berbeda dari kompetitor.  

Disebut sebagai kinerja ketika motivasi individu dibarengi dengan kemampuan yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaannya, serta juga adanya dukungan dari organisasinya. Artinya individu tersebut akan menunjukkan kinerja yang terbaik ketika dia termotivasi dan juga merasa mampu untuk melakukannya, serta diberikannya kesempatan untuk terlibat dalam pekerjaannya. Disamping itu, produktivitas adalah tujuan dari semua organisasi, karena yang ingin dicapai adalah output yang sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan input yang se-efisien mungkin. Sehingga dengan kata lain diharapkan dengan memiliki engagement yang tinggi maka individu akan dapat menunjukkan perilaku yang mengarah pada upaya untuk mencapai output sebanyak-banyaknya dan se-efektif mungkin,  akan tetapi juga tetap tidak menghambur-hamburkan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.

Sayangnya, meningkatkan kinerja dan produktivitas anggota organisasi bukanlah hal yang mudah, masih banyak organisasi yang menginginkan anggotanya untuk berproduksi secara optimal, akan tetapi lebih memperlakukan manusia sebagai robot atau modal investasi yang diharapkan akan dapat kembali. Saat ini, masih banyak organisasi yang berupaya untuk memuaskan karyawannya, dengan cara memberikan berbagai fasilitas, seperti gaji yang menarik, ataupun jenjang karir yang jelas. Sebagaimana yang disampaikan oleh Herzberg dalam teori two factor bahwa hal-hal tersebut sifatnya lebih kepada faktor hygiene ketimbang sebagai motivator yang dapat mengarahkan pada perilaku positif dan produktif di organisasi.

Anggota organisasi yang puas saja, ternyata tidak cukup untuk dapat meraih keunggulan kompetitif organisasi. Hal ini disebabkan bahwa, semakin ketatnya persaingan, semakin marak praktek “bajak-membajak” karyawan-karyawan yang berprestasi terjadi. Dengan kata lain, selain berupaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas karyawannya, tantangan berikutnya adalah memastikan anggota organisasi tetap berada didalam organisasi, dan tidak tergoda untuk pindah ke lain “hati”, walaupun mendapatkan fasilitas yang lebih baik. Karyawan yang puas saja akan mudah untuk berpaling, jika organisasi lain mendatangkan kepuasan yang lebih, sedangkan karyawan yang merasa engaged atau melekatkan dirinya pada organisasi akan melakukan apapun untuk kemajuan organisasi, baik dalam kondisi senang maupun susah. Sehingga fokus Psikologi Industri dan Organisasi saat ini adalah bagaimana memunculkan sikap-sikap positif individu di organisasi, yang tidak hanya puas ataupun komitmen, akan tetap sikap-sikap yang dapat mengarahkan pada ide, produktivitas dan juga menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, salah satu konstruk yang dibicarakan adalah employee engagement.



II. Menjelaskan Employee Engagement: Bukan Sekedar Lagu Lama Yang Diputar Kembali.
Engagement  adalah kata-kata yang cukup sukar untuk ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena jika diartikan secara letter lux maka akan menjadi terikat, dan pada akhirnya maknanya akan menjadi tereduksi. Oleh karena itu, kita akan tetap menggunakan istilah engagement. Hal ini bukan berarti, kita secara mentah-mentah menggunakan istilah asing atau sekedar memaknainya sebagai buzz word, karena sebenarnya konstruk ini adalah konstruk yang menarik untuk didiskusikan, sebagaimana alasan-alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, mulai dari terkait dengan isu produktivitas dan kinerja, hingga terkait dengan isu-isu menjaga karyawan agar tetap di organisasi. Tantangan dalam mendefinisikan engagement juga terjebak pada sejauh mana konstruk ini membedakan dengan konstruk-konstruk sikap lainnya, seperti kepuasan, komitmen, organizational citizenship behavior, sehingga jangan sampai menjelaskan konstruk engagement ini seperti seakan-akan lagu lama yang diputar kembali, atau “old wine new bottle”.

Dalam mendefinisikan engagement, Kahn (2010) menjelaskan bahwa engagement tidak cukup diistilahkan sebagai semangat dalam bekerja, lebih dari itu konstruk ini menjelaskan bagaimana individu terlibat sepenuhnya pada organisasinya, memikirkan bagaimana pekerjaan dan organisasi dapat berjalan dengan baik, dan melebihi sebagaimana mestinya, disamping itu engagement juga menjelaskan bagaimana individu menempatkan dirinya yang sesungguhnya, menunjukkan segenap upayanya untuk pekerjaan dan organisasinya. Sehingga jika didasarkan pada penjelasan Kahn (2010), konstruk ini merupakan sikap psikologis individu terhadap organisasi dan pekerjaannya, dimana sikap itu sendiri meliputi pikiran, perasaan dan tindakan, dengan kata lain konstruk ini juga dapat diamati dalam perilaku sehari-hari. Sebagai implikasinya, konstruk ini juga mengklasifikasikan indvidu kedalam 3 tingkatan yang berbeda yaitu engaged, disengaged dan actively disengaged.  

Lebih lanjut, Ellis dan Sorensen (2007) mencoba menjelaskan konsep engagement terdiri dari dua atribut utama yaitu (1) mengetahui apa yang dikerjakan, dan juga (2) menginginkan melakukan pekerjaannya. Mengetahui apa yang dikerjakan maksudnya adalah memahami apa yang menjadi tujuan organisasi, menyelaraskan antara tujuan individu dan organisasi, berperan aktif dalam berkontribusi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Sedangkan menginginkan melakukan pekerjaan tersebut artinya adalah secara personal dia memiliki dorongan untuk melakukan pekerjaannya yang terbaik, dan berusaha untuk menginspirasi orang lain di organisasi tersebut. Dengan kata lain, kedua atribut mencoba untuk menyeimbangkan antara keinginan untuk menunjukkan kinerja terbaiknya di organisasi, juga menekankan pada melakukan pekerjaan yang lebih bermakna dan berharga (Ellis dan Sorensen, 2007). Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa employee engagement  adalah kondisi dimana individu merasa begitu bergairah dalam menjalankan pekerjaannya di organisasi tempat dia bekerja, perasaan bergairah ini juga ditunjang dengan sepenuhnya komitmen pada organisasi, dan bersedia menunjukkan usaha yang lebih untuk mencapai tujuan organisasi.

III. Employee Engagement dan Kinerja: Untuk Produktivitas Individu dan Organisasi.
Diawal makalah ini dijelaskan bahwa engagement  akan mengarah pada kinerja yang prima dari individu, dan pada akhirnya akan mencapai produktivitas yang tinggi yang tentunya akan menghasilkan keuntungan dan keunggulan bagi organisasi. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana karyawan yang engaged  dapat menunjukkan kinerja yang terbaiknya. Disinilah kita mencoba mendiskusikan model yang tepat agar engagement  dapat memfasilitasi kinerja yang prima dari karyawan. Gruman dan Saks (2010) menyampaikan bahwa dalam konteks manajemen kinerja, terdapat beberapa rangkaian aktivitas meliputi penentuan target kinerja, penilaian kinerja hingga sesi diskusi umpan balik atas kinerja yang dicapai oleh karyawan. Semua aktivitas tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan engagement yang juga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja individu.

Pertama, pada sesi penentuan target kinerja, prinsip awal dijelaskan bahwa karyawan akan menunjukkan kelekatannya pada organisasinya ketika dia terlibat dalam pekerjaannya, termasuk didalamnya adalah membangun kesepakatan target kinerja yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan teori goal setting dimana keterlibatan ini juga bagian dari memfasilitasi penyelarasan antara tujuan individu dengan tujuan organisasinya. Kedua, terkait dengan aktivitas penilaian kinerja juga dapat menentukan apakah karyawan akan engaged ataupun tidak, yaitu ketika penilaian kinerja tersebut dilakukan secara adil, obyektif dan dapat dipercaya. Selanjutnya adalah pada sesi feedback, dimana umpan balik yang positif, tidak menjatuhkan akan membuat individu tersebut (Gruman dan Saks, 2010).

IV. Meningkatkan Employee Engagement: Tantangan dan Potensi Kedepannya.
Engagement adalah konstruk psikologis yang didasarkan pada paradigma psikologi positif, yaitu sebuah pendekatan yang mengedepankan aspek kekuatan dibandingkan melihat kelemahan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa engagement akan menunjukkan individu yang otentik dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi, meningkatkan engagement individu juga menjadi tugas dari organisasi, dan hal ini menjadi tantangan bagi praktisi Psikologi Industri dan Organisasi, sebagaimana pada umumnya berfungsi sebagai manajemen sumber daya manusia di organisasi. Berikut ini beberapa hal yang dapat diperhatikan oleh organisasi untuk memfasilitasi meningkatkan engagement.

Bedarkar dan Pandita (2013) menjelaskan bahwa yang mendorong meningkatnya engagement adalah tiga hal yaitu (1.) kepemimpinan, (2.) komunikasi dan (3.) work-life balance. Sedangkan Schaufeli dan Salanova (2010) menyebutkan bahwa dalam meningkatkan engagement dapat dilakukan baik dari sisi intervensi individu dan juga intervensi organisasi. Lebih lanjut, beberapa peneliti (Bedarkar dan Pandita, 2013; Schaufeli dan Salanova, 2010; Arakawa dan Greenberg, 2007) sepakat bahwa kepemimpinan adalah aspek yang cukup signifikan mempengaruhi engagement individu, salah satu alasannya adalah atasan langsung berinteraksi dengan individu, atasan juga merupakan representasi dari organisasi itu sendiri. Bedarkar dan Pandita (2013) menegaskan bahwa pemimpin yang memiliki keseimbangan antara orientasi pada tugas dan orientasi pada relasi akan dapat meningkatkan engagement  anggota organisasinya, hal tersebut meliputi pengembangan individu, memperhatikan kehidupan individu, dan juga orientasi kinerja adalah tiga hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin. Selanjutnya, jika menurut Arakawa dan Greenberg (2007) ada tiga komponen kepemimpinan positif yang dapat meningkatkan engagement yaitu (1.) Pendekatan berbasis kekuatan, yaitu menggali kekuatan yang dimiliki oleh anggota organisasinya (2.) menggunakan perspektif positif, dimana seorang pemimpin tetap menggunakan perspektif positif sekalipun organisasi menghadapi kesulitan, (3.) merekognisi atau menghargai, yaitu menghargai capaian-capaian yang diraih oleh anggota organisasinya. Ketiga komponen tersebut akan berhubungan dengan meningkatnya engagement dan juga kinerja individu (Arakawa dan Greenberg, 2007).
Berikutnya, menurut Schaufeli dan Salanova (2010) beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan engagement dari perspektif organisasi antara lain, pertama yaitu pengukuran yang rutin dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat engagement karyawannya, juga termasuk didalamnya mengambil langkah-langkah untuk meningkatkannya. Kedua, adalah melakukan redesain pekerjaan yang dapat memfasilitasi individu untuk dapat lebih memaknai pekerjaannya. Berikutnya juga terkait dengan memfasilitasi pengembangan individu sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, melalui proses belajar, pelatihan dan manajemen karir yang baik. Intinya adalah menempatkan sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga di organisasi.

Beberapa langkah yang dijelaskan dalam meningkatkan engagement anggota organisasi, dimana diharapkan juga akan mengarah pada peningkatan kinerja dan produktivitas individu dapat difasilitasi oleh Psikologi Industri dan Organisasi, salah satunya dengan memberikan pemahaman serta penjelasan atas pendekatan psikologi positif kepada organisasi dalam mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya, dalam konteks ini praktek manajemen sumber daya manusia dilakukan dengan cara desentralisasi pada pimpinan perusahaan, ataupun pimpinan unit lainnya. Contohnya dengan mengajarkan coaching berbasis psikologi positif pada atasan langsung, menyusun sistem manajemen karir, merancang pekerjaan dan menumbuhkan semangat komunikasi terbuka di organisasi.

Selain berbagai aktivitas yang dapat dilakukan oleh praktisi psikologi Industri dan Organisasi ketika berfungsi sebagai manajemen sumber daya manusia di organisasi untuk meningkatkan engagement dan produktivitas individu dan organisasi, terdapat juga beberapa pekerjaan rumah bagi psikologi Industri dan Organisasi yang mengambil peran sebagai ilmuwan. Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, salah satu tugas utamanya adalah menjelaskan konstruk engagement  ini sesuai dengan karakteristik sumber daya manusia di Indonesia, penelitian-penelitian yang menjelaskan kekhasan konstruk ini di Indonesia masih sangat terbuka.

 Kesimpulan
Produktivitas dan Kinerja individu akan mengarah pada kinerja organisasi yang juga akan mendatangkan keunggulan kompetitif bagi organisasi. Oleh karena itu, meningkatkan kinerja dan produktivitas menjadi tugas bagi setiap organisasi melalui fungsi manajemen sumber daya manusia yang dimilikinya. Salah satu cara yang dapat dilakuakn adalah dengan memperthatikan sikap anggota organisasi, termasuk didalamnya adalah employee engagement. Adalah konstruk yang menjelaskan bagaimana individu begitu bergairah terhadap pekerjaannya, menunjukkan komitmen dan usaha yang lebih untuk pekerjaan dan organisasinya. Konstruk ini merupakan bagian dari psikologi positif yang menekankan pada kekuatan individu sehingga individu dapat menunjukkan potensi terbaiknya dalam pekerjaan dan organisasi. Konstruk ini menjadi penting, karena individu yang engage akan mengarahkan segenap ide dan usahanya untuk kebaikan organisasi. Sehingga, beberapa langkah dapat dilakukan oleh organisasi dalam meningkatkan engagement antara lain melalui kepemimpinan yang positif, memberikan pemaknaan terhadap pekerjaan, dan juga memfasilitasi pengembangan individu. Disamping aktivitas-aktivitas tersebut, tantangan yang juga diberikan dari konstruk ini adalah mendefinisikan kekhasannya sesuai dengan konteks budaya dan karakteristik sumber daya manusia di Indonesia.

Daftar Pustaka.
Bedarkar, Madhura dan Pandita, Deepika., 2013., “A Study on the Drivers of Employee Engagement Impacting Employee Performance”, Procedia-Social and Behavioral Sciences 133 (2014) 106 – 115.

Ellis, Christian M. dan Sorensen, Aaron., 2007., “Assessing Employee Engagement: The Key to Improving Productivity”., Perspectives. Issues 15. 1.

Gruman, Jamie A., dan Saks, Alan M., 2010., “Performance Management and Employee Engagement”, Human Resources Management Review (21), 2011, 123-136.

Kahn, William A., 2010., “The Essence of Engagement: Lesson from The Field”. Dalam Simon L. Albrecht, Handbook of Employee Engagement, Perspective, Issues, Research and Practice. Cheltenham, UK. Edward Elgar.

Schaufeli, Wilmar B. dan Salanova, Marisa., 2010., “How to Improve Employee Engagement”. Dalam Simon L. Albrecht, Handbook of Employee Engagement, Perspective, Issues, Research and Practice. Chelten

Jumat, 27 Maret 2015

Hubungan Antara Adversity Quotient Dan Resiliensi Pada Polisi Di Temanggung (Penelitian pada Polisi SatSabhara Resor Temanggung)

GITA KUSUMANINGTYAS
ABSTRAK
            Fenomena resiliensi pada polisi merupakan masalah yang perlu diperhatikan.Resiliensi tidak hanya penting di kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam dunia kerja.Hasil studi pendahuluan menunjukan tidak tingginya resiliensi polisi.Hal ini terkait dengan tidak tingginya adversity quotient yang dimiliki polisi. Lebih lanjut dalam penelitian ini akan dikaji hubungan antara adversity quotient dengan resiliensi pada polisi di Temanggung.
            Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional.Subjek pada penelitian ini berjumlah 60 orang polisi SatSabhara. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling atau penelitian populasi. Resiliensi diukur dengan menggunakan skala resiliensi. Item yang valid pada skala resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai signifikansi koefisien validitas lebih kecil dari α 0,05 yaitu sebesar 0,000 sampai 0,048, sedangkan item yang tidak valid memiliki signifikansi koefisien validitas lebih besar dari α 0,05  yaitu sebesar 0,054 sampai 0,002, dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,924. Adversity quotient diukur dengan menggunakan skala adversity quotient. Item yang valid pada skala adversity quotient yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai signifikansi koefisien validitas lebih kecil dari α 0,05 yaitu sebesar 0,000 sampai  0,037, sedangkan item yang tidak valid memiliki signifikansi koefisien validitas lebih besar dari α 0,05 yaitu sebesar 0,083 sampai 0.156, dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,921.
            Hasil penelitian menunjukkan variabel resiliensi tergolong sedang.Demikian juga variabel adversity quotient tergolong sedang, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut yaitu asset, resiko dan adaptasi, yang cukup mendukung resiliensi. Hasil penelitiand engan resiliensi diperoleh koefisien r=0,379 dengan signifikansi atau p=0,003. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara adversity quotient dengan resiliensi pada Polisi di Temanggung.
            Polisi diharapkan dapat meningkatkan resiliensinya di dunia kerja.Instansi dan pihak Kepolisian dapat memberikan pelatihan tambahan dan masukan serta ilmu juga informasi yang tepat untuk membantu meningkatkan adversity quotient polisi dalam menghadapi kesulitan dan hambatan dalam dunia kerja sebagai aparat negara.

Kata kunci: adversity quotient, dan resiliensi

ABSTRACT
            The phenomenon of resilience in the police is a problem that needs attention. Resilience is not only important in everyday life but also in the world of work. The results of preliminary studies showed no high resilience police. It is associated with high adversity quotient owned by the police. Further research will be assessed the relationship between adversity quotient with resilience police in Temanggung.
            This research is a quantitative correlation. Subjects in this study amounted to 60 people SatSabhara police. The sampling technique used is total sampling or study population. Resilience was measured using a scale of resilience. Items that are valid on the resilience scale used in this study have significance validity coefficient is smaller than the 0.05 α of 0.000 to 0.048, while the invalid items have greater significance than the validity coefficient α is equal to 0.054 0.05 to 0.002, with a reliability coefficient of 0.924. Adversity quotient measured using scales adversity quotient. Items that are valid on adversity quotient scale used in this study have significance validity coefficient is smaller than the 0.05 α of 0.000 to 0.037, while the invalid items have significance validity coefficient greater than 0.05 α is equal to 0.083 to 0156 , with a reliability coefficient of 0.921.
            The results showed resilience variables being considered. Similarly, the variable adversity quotient is classified, it is caused by several factors, namely asset, risk and adaptation, adequate support resilience. Results obtained resilience ith coefficient r = 0.379 with a significance or p = 0.003. It shows that there is a significant positive relationship between adversity quotient with resilience Police in Temanggung.
            Police expected to increase they resilience in the workplace. Agencies and the police to provide additional training and knowledge input and also the right information to help improve the police in the face of adversity quotient difficulties and obstacles in the world of work as the state apparatus.

Keywords: adversity quotient, and resilience

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMA N 1 GROBOGAN

FITRIA APRILIA
ABSTRAK
Perilaku kenakalan remaja semakin meningkat terutama di kota-kota besar dari mulai kenakalan biasa, kenakalan yang menjurus pada pelanggaran serta pelanggaran khusus. Kenakalan remaja tingkat biasa juga terdapat di SMA N 1 Grobogan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya siswa yang terdaftar pada KTP-siswa karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah.  Perilaku kenakalan remaja dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Salah satu sifat yang dibawa sejak lahir adalah kecerdasan interpersonal. Kecerdasan interpersonal yaitu kemampuan dan keterampilan seseorang untuk menciptakan, membangun dan mempertahankan relasi serta menghadapi orang lain ataupun lingkungan dengan cara yang efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan interpersonal (X) dengan perilaku kenakalan remaja (Y) pada siswa SMA N 1 Grobogan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMA N 1 Grobogan yang tercatat pada buku KTP-siswa. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling atau penelitian populasi dengan jumlah populasi 191 siswa. Kecerdasan interpersonal diukur menggunakan skala kecerdasan interpersonal yang terdiri dari 45 item  dan perilaku kenakalan remaja diukur menggunakan angket perilaku kenakalan remaja yang berjumlah 39 item.
Analisis validitas menggunakan product moment dimana instrumen skala kecerdasan interpersonal dinyatakan valid dengan koefisien validitas tertinggi sebesar 0,651 dan terendah sebesar 0,159. Validitas tertinggi pada angket perilaku kenakalan remaja sebesar 0,628 dan terendah sebesar 0,164. Koefisien reliabilitas skala kecerdasan interpersonal sebesar 0,735 dan koefisien reliabilitas angket perilaku kenakalan remaja sebesar 0,736.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara kecerdasan interpersonal dengan perilaku kenakalan remaja yang artinya jika kecerdasan interpersonal berada pada kategori tinggi maka perilaku kenakalan remaja berada pada kategori rendah, begitupun sebaliknya. Hasil ini dapat dilihat berdasarkan analisis korelasi Product Moment yang menunjukkan bahwa nilai r = -0,404 dengan nilai signifikansi atau p = 0,000. Peneliti menyimpulkan bahwa hipotesis kerja yang berbunyi “ada hubungan negatif antara kecerdasan interpersonal dengan perilaku kenakalan remaja”, diterima.
Kata Kunci : Perilaku, Perilaku Kenakalan Remaja, Kecerdasan Interpersonal


ABSTRACT


Behavior of juvenile delinquency has increased, especially in the big cities ranging from ordinary delinquency, delinquency leading to the offense and the specific offense. Delinquency rate is also commonly found in senior high school  Grobogan. This is evidenced by the number of students enrolled on the student ID card for a foul against school rules. Juvenile behavior is influenced by factors extrinsic and intrinsic factors. Intrinsic factor is a factor that comes from within the individual. One of the properties that are innate interpersonal intelligence. Interpersonal intelligence is the ability and skill to creating, building and maintaining relationships and dealing with other people or the environment in an effective way. The purpose of this study was to determine the relationship between interpersonal intelligence (X) with juvenile behavior (Y) at senior high schoolN 1 Grobogan high school students.
This research is a quantitative correlation. The population in this study were high school students N 1 Grobogan recorded on the book-student ID card. This study uses total sampling technique or study population with a population of 191 students. Interpersonal intelligence interpersonal intelligence was measured using a scale consisting of 45 items and juvenile behavior was measured using a questionnaire syang juvenile behavior at 39 item. Analysis of the validity of using the product moment where the instrument is declared invalid
interpersonal intelligence scale with the highest validity coefficient of 0.651 and a low of 0.159. The validity of the questionnaire highest delinquency behavior at 0.628 and the lowest was 0.164. Interpersonal intelligence scale reliability coefficient of 0.735 and a behavioral questionnaire reliability coefficient of 0.736 delinquency.
The results in this study indicate that there is a negative relationship between interpersonal intelligence juvenile behavior that pales in the category of interpersonal intelligence higher then the behavior of juvenile delinquency in the category of low, and vice versa. These results can be seen by Product Moment Correlation analysis showed that the value of r = -0.404 with a significance value or p = 0.000. Researchers concluded that the working hypothesis which says "there is a negative relationship between interpersonal intelligence juvenile behavior" unacceptable.
Keywords: Behavior, Juvenile Delinquency, Interpersonal intelligence


IDENTITAS DIRI REMAJA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 PEMALANG DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

Fisnanin Purwanti, Sugeng Hariyadi, Rahmawati Prihastuty
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan  Universitas Negeri Semarang Indonesia
Kampus Sekaran Gunungpati Gedung A1  Lt. 2.
purwantifisnanin@rocketmail.com

Identity can be shaped by many factors, one of which is gender. Teens can seek positive self-identity formation in various ways. Identification of differences in adolescents between men and women can be seen from how teens are successful in the search for identity dirinya.Untuk get more reliable results about the differences in adolescent identity, then do the research. The purpose of this study was: (1) the identity of students in class XI at SMAN 2 Pemalang., (2) determine the identity differences in class XI student of SMAN 2 Pemalang in terms of gender.
This study was conducted at SMA N 2 Pemalang. Subjects numbered 78 people were determined using the technique of Proportional Sample. Identity was measured using Identity scale comprising 55 items. Identity of the scale reliability coefficient of 0.952. Test differences using the Mann-Whitney U technique Test with SPSS 17.0 for windows.
Hypothesis test results showed a significant difference between self-identity in the male students and female students. Identity of the boys with an average value of 208.44 is higher than the female students' self-identity on the average value of 190.64 which means that male students have a more positive self-identity than female students.

Keywords: identity, Adolescence, gender
ABSTRAK
Identitas diri dapat dibentuk oleh banyak faktor salah satu diantaranya adalah jenis kelamin. Remaja dapat mengupayakan pembentukan identitas diri positif dengan berbagai cara. Adanya perbedaan Identitas diri remaja antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari bagaimana remaja tersebut sukses dalam pencarian identitas dirinya.Untuk mendapatkan hasil yang lebih terpercaya mengenai perbedaan identitas diri remaja, maka dilakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui identitas diri pada peserta didik kelas XI SMA Negeri 2 Pemalang.; (2) mengetahui adanya perbedaan identitas diri  pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Pemalang ditinjau dari jenis kelamin.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 2 Pemalang. Subjek penelitian berjumlah 78 orang yang ditentukan menggunakan teknik Proportional Sample. Identitas diri diukur dengan menggunakan skala Identitas diri yang terdiri dari 55 item. Koefisien reliabilitas skala Identitas diri sebesar 0,952. Uji perbedaan menggunakan teknik Mann-Whitney U Test dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows.
Hasil uji hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara identitas diri pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Identitas diri pada siswa laki-laki dengan nilai rata-rata 208,44 lebih tinggi dibandingkan dengan identitas diri pada siswa perempuan nilai rata-rata 190,64 yang berarti siswa laki-laki mempunyai identitas diri yang lebih positif dibandingkan siswa perempuan.


Kata Kunci : identitas diri, remaja, jenis kelamin

IDENTITAS DIRI REMAJA PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 2 PEMALANG DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

Fisnanin Purwanti, Sugeng Hariyadi, Rahmawati Prihastuty
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan  Universitas Negeri Semarang Indonesia
Kampus Sekaran Gunungpati Gedung A1  Lt. 2.
purwantifisnanin@rocketmail.com

Identity can be shaped by many factors, one of which is gender. Teens can seek positive self-identity formation in various ways. Identification of differences in adolescents between men and women can be seen from how teens are successful in the search for identity dirinya.Untuk get more reliable results about the differences in adolescent identity, then do the research. The purpose of this study was: (1) the identity of students in class XI at SMAN 2 Pemalang., (2) determine the identity differences in class XI student of SMAN 2 Pemalang in terms of gender.
This study was conducted at SMA N 2 Pemalang. Subjects numbered 78 people were determined using the technique of Proportional Sample. Identity was measured using Identity scale comprising 55 items. Identity of the scale reliability coefficient of 0.952. Test differences using the Mann-Whitney U technique Test with SPSS 17.0 for windows.
Hypothesis test results showed a significant difference between self-identity in the male students and female students. Identity of the boys with an average value of 208.44 is higher than the female students' self-identity on the average value of 190.64 which means that male students have a more positive self-identity than female students.

Keywords: identity, Adolescence, gender
ABSTRAK
Identitas diri dapat dibentuk oleh banyak faktor salah satu diantaranya adalah jenis kelamin. Remaja dapat mengupayakan pembentukan identitas diri positif dengan berbagai cara. Adanya perbedaan Identitas diri remaja antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari bagaimana remaja tersebut sukses dalam pencarian identitas dirinya.Untuk mendapatkan hasil yang lebih terpercaya mengenai perbedaan identitas diri remaja, maka dilakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui identitas diri pada peserta didik kelas XI SMA Negeri 2 Pemalang.; (2) mengetahui adanya perbedaan identitas diri  pada siswa kelas XI SMA Negeri 2 Pemalang ditinjau dari jenis kelamin.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 2 Pemalang. Subjek penelitian berjumlah 78 orang yang ditentukan menggunakan teknik Proportional Sample. Identitas diri diukur dengan menggunakan skala Identitas diri yang terdiri dari 55 item. Koefisien reliabilitas skala Identitas diri sebesar 0,952. Uji perbedaan menggunakan teknik Mann-Whitney U Test dengan bantuan program SPSS 17.0 for windows.
Hasil uji hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara identitas diri pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Identitas diri pada siswa laki-laki dengan nilai rata-rata 208,44 lebih tinggi dibandingkan dengan identitas diri pada siswa perempuan nilai rata-rata 190,64 yang berarti siswa laki-laki mempunyai identitas diri yang lebih positif dibandingkan siswa perempuan.


Kata Kunci : identitas diri, remaja, jenis kelamin

KOMITMEN BERAGAMA DAN EMOTIONAL INTELLIGENCE PECANDU NARKOBA (STUDI DESKRIPTIF PADA SISWA DI YAYASAN RUMAH DAMAI GUNUNG PATI SEMARANG)

FERRY SILITONGA
ABSTRAK
            Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan narkoba akan memberikan dampak sangat buruk bagi para pelakunya, baik secara fisik, psikologis, dan sosial. Untuk menangani para pecandu narkoba ini, pemerintah menyelenggarakan rehabilitasi yang bersifat medis dan sosial. Rumah Damai merupakan rehabilitasi sosial dengan pendekatan agama. Menjalani rehabilitasi dengan pendekatan agama tidaklah mudah. Oleh karena itu dibutuhkan kualitas individu untuk dapat tetap bertahan dan dapat kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat, di antaranya komitmen beragama dan emotional intelligence. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran komitmen beragama dan emotional intelligence mantan pecandu narkoba.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan menggunakan skala dan angket sebagai metode pengumpulan data. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Penelitian ini merupakan penelitian populasi, yaitu pecandu narkoba di Rumah Damai. Validitas dan reliabilitas instrumen dianalisis menggunakan SPSS 17. Analisis validitas menggunakan product moment dimana instrumen dinyatakan valid dengan koefisien validitas tertinggi sebesar 0,752 dan terendah sebesar 0,060. Analisis reliabilitas menggunakan koefisien alpha dimana instrumen dinyatakan reliabel untuk digunakan dalam penelitian dengan nilai koefisien reliabilitas skala komitmen bergama sebesar 0,938 serta koefisien reliabilitas skala emotional intelligence sebesar 0,955.
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen beragama dan emotional intelligence mantan pecandu narkoba di Rumah Damai berada pada kategori tinggi. Komitmen beragama dan emotional intelligence berada pada titik tertinggi ditunjukkan oleh kelompok mantan pecandu narkoba menjalani 7-12 bulan rehabilitasi, mereka yang baru pertama kali masuk rehabilitasi, dan usia mereka yang masih relatif muda (19-30 tahun). Tingkat komitmen beragama dan emotional intelligence yang lebih rendah ditunjukkan oleh kelompok subjek yang telah menjalani rehabilitasi selama 1 tahun lebih, mejalani rehabilitasi lebih dari 1 kali, dan usia yang semakin bertambah (31-45 tahun).

Kata kunci: komitmen beragama, emotional intelligence, pecandu narkoba
ABSTRACT
Drug abuse in Indonesia show trend that increase year by year. Drug abuse has serious effects to who abuse it, effects physics, psychologies, and social. In order to maintain this problem, government establishes rehabilitation with medic treatment and social treatment. Rumah Damai (House of Peace) is social rehabilitation centre with religious approach. Go through rehabilitation with religious approach is hard to get it done. Rehabilitation is hard, so that it need individual qualities to endure and come back to society as normal people, such as religious commitment and emotional intelligence. This research purpose is to see religious commitment and emotional intelligence state in drug abuser.

This research use quantitative descriptive approach with psychological scale and questionnaire as main data collecting method. Data analysis use descriptive analysis technique. This research is population research with population of drug abuser in Rumah Damai. SPSS 17 used to analysis instrument’s validity and reliability. Validity analysis use product moment formula with the highest validity coefficient 0.752 and the lowest point 0.060. Reliability analysis use alpha coefficient as formula. Religious commitment reliability is 0.938 and emotional commitment reliability is 0.955. Because have high reliability point, instrument in this research officially to use in this research.

Research result shows that religious commitment and emotional intelligence drug abuser in Rumah Damai in high level state. Religious commitment and emotional intelligence highest point state in group of drug abuser who have been going through rehabilitation for 7-12 months, who took rehabilitation for the first time, and group of younger abuser (19-30 years). The lower religious commitment and emotional intelligence shows of group of drug abuser who have been going through rehabilitation more than 1 year, who have rehabilitated more than one times, and older abuser group (31-45 year).
           

Keywords: religious commitment, emotional intelligence, drugs user